fbpx

Menghadapi Perbedaan Pasca Pernikahan

Written by ydsfpeduli

On April 5, 2021

Narasumber: Ustadz Yosi Al Muzzanni (Founder Klinik Nikah Indonesia)

Ketika sebuah prosesi pernikahan telah dilaksanakan, pasangan baru yang biasa disebut pengantin baru, umumnya akan selalu mendapatkan perasaan yang penuh suka cita. Mungkin, masa inilah puncak keindahan dan dambaan setiap insan, baik laki-laki maupun wanita. Bagaimana tidak, seseorang yang mereka dambakan untuk bisa segera hadir, kini telah berada tepat di sisinya. Menemaninya setiap pagi hingga senja menyapa. Dunia serasa milik berdua karena cinta tengah memenuhi relung hati mereka.

Merayakan cinta memang sah-sah saja, karena cinta memang anugerah yang Allah tanamkan dalam setiap hati manusia. Namun tetap muara dari cinta tentu harus karena Allah semata. Ketika seorang pria telah ditakdirkan untuk menghalalkan pasangannya, maka mereka tentu akan memasuki babak baru, episode baru, cerita kehidupan baru dan tentunya kebiasaan baru.

Ketika single, mungkin mereka punya kebiasaan masing-masing yang tentunya berbeda satu sama lain, akan tetapi ketika akad telah terucap dan kedua tangan sudah saling menggenggam erat, maka mereka harus mulai saling belajar, saling mengerti dan saling berdaptasi terhadap kepribadian dan kebiasaan pasangannya.

Ustadz Yosi Al Muzzanni, yang merupakan pembina dari Klinik Nikah Indonesia menyampaikan bahwa tentu akan ada banyak sekali perbedaan-perbedaan yang muncul dan hal-hal baru yang mungkin harus saling diselaraskan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang menikah berarti telah menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk setengah yang kedua.”(HR. Baihaqi)

Kenapa sebuah pernikahan dihitung sebagai separuh agama?. Tentang hal ini, para ulama berpendapat bahwa umumnya yang merusak agama seseorang adalah kemaluan dan perut. Dengan kemaluan, seseorang bisa terjebak dalam lembah zina. Adapun perut dikonotasikan dengan keserakahan, sehingga bisa jadi hak orang lain pun akan dimakan dengan keserakahannnya.

Menikah berarti membentengi diri dari salah satunya, yaitu zina dengan kemaluan. Itu berarti dengan menikah, separuh agama seorang pemuda telah terjaga, dan kemudian sisanya, ia tinggal menjaga perutnya. Al Mulla ‘Ali Al Qori  dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, ketika mensyarahi hadis ini, menjelaskan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakwalah pada separuh yang lainnya, maksudnya adalah bertakwalah pada sisa dari perkara agamanya.

Dalam dunia jomblo, sering dari mereka masih bisa untuk mengekspresikan diri di depan seseorang yang mereka suka, atau sering disebut pencitraan. Namun itu akan usai ketika seseorang sudah memasuki dunia pernikahan. Kebiasaan itu akan berganti dengan sebuah komitmen seorang pasangan yang akan selalu melibatkan satu sama lain. Mereka akan membuat kesepakatan bersama, saling memikirkan perasaan hingga memulai kebiasaan terkecil yakni saling berkabar.

Sebelum menikah, mereka begitu mendambakan seorang partner, akan tetapi mereka juga harus paham bagaimana kemudian ketika partner telah berada dalam dekapan, maka mereka harus mampu menjaganya. Salah satu penjagaan sederhana namun begitu penting yang sering disepelekan adalah menjaga komunikasi antar pasangan. Saling berkabar adalah salah satu kebiasaan pengantin baru yang mungkin harus dijaga agar bisa terus terlaksana.

Umumnya kebiasaan ini hanya bertahan di awal-awal pernikahan saja. Padahal hal-hal kecil seperti ini adalah sebuah bentuk komunikasi yang kuat yang bisa menjadikan ikatan pernikahan menjadi semakin solid. Mungkin beberapa orang akan sangat risih dan bisa tidak nyaman dengan kegiatan saling berkabar, tapi memang demikian yang harus dilakukan dalam sebuah pernikahan. Mereka harus bisa merubah kebiasaan individualisnya menjadi lebih peduli kepada pasangannya.

Di sisi lain, terdapat kebiasaan baru yang luar biasa yakni mulai saling menyambung silaturahim antara keluarga besar. Saling berkunjung, memahami setiap karakter mereka hingga terjalin hubungan erat yang tentu membutuhkan proses.

Perbedaan lain yang cukup mencolok ketika seseorang telah menikah tentunya adalah adanya sebuah tanggung jawab besar yang harus dilaksanakan oleh keduanya. Fokusnya adalah kita mampu menjalankan setiap kewajiban kita kepada pasangan, suami kepada istri dan sebaliknya, bukan hanya menuntut hak.

Lantas kemudian selain status pernikahan yang akan menjadi pembeda, juga akan ada yang namanya tuntutan-tuntutan yang memang benar-benar harus dipahami untuk seorang suami misalnya. Ia dituntut untuk mampu menjadi qowwamah. Maknanya adalah ia harus menjadi seseorang yang benar-benar lebih imannya, lebih ilmunya, menjadi juru islah, bahkan dianjurkan juga untuk bisa lebih penghasilannya. Al Qowwamah ini juga berarti benar-benar menjadi seorang pemimpin yang dipatuhi tanpa memaksa, imam sebenar imam bukan imam serasa makmum.

“Akan banyak sekali perbedaan atau hal-hal baru yang hadir yang itu semua bisa disikapi dengan menyisihkan sedikit waktu berdua, you and me time,” ujar ustadz gaul yang juga seorang munsyid ini.  Ajak pasangan duduk bersama, mengobrol lebih dalam dari hati ke hati, di waktu dan tempat yang tepat.  Karena biasanya jika masih awal pernikahan, di tiga bulan pertama yang penuh cinta  itu adalah waktu yang cukup ideal untuk membahas segala hal tentang pribadi dan kebiasaan pasangan. “Selama tiga bulan itu, coba dirutinkan. Kalau tidak bisa setiap hari, minimal sepekan sekali lah. Tidak perlu lama-lama, 30 menit saja,” jelas da’i yang kini berdomisili di Solo ini.

Ketika istri mendapat giliran pertama untuk menyampaikan, maka ia harus menyampaikannya dengan penuh cinta dan suami harus mendengarkannya dengan penuh empati. Dan ingat, ketika istri sedang menyampaikan, jangan ada sedikitpun sanggahan atau pembelaan, cukup dengarkan dan simak dengan baik seraya pikirkan bahwa apa yang sebenarnya yang dirasakan seorang istri, karena sesungguhnya apa yang ia sampaikan tentu bukan sebuah celaan atau hal-hal yang akan menjatuhkan pasangannya.

Justru ia tengah menyampaikan sebuah harapan kepada pasangannya untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik, sehingga suami bisa mengubah kebiasaan negatif menjadi positif, merubah perilakunya agar bisa berinteraksi dengan baik kepada istrinya. Begitu juga sebaliknya, jika sang suami tengah menyampaikan, maka seorang istri juga harus mendengarkannya dengan penuh empati dan cinta. Menyimak setiap nasehat, saran serta masukan agar pernikahan yang mereka bangun bisa semakin harmonis dan terhindar dari hal-hal yang akan mengganggu mereka dalam menggapai Ridho Allah subhanahu wata’ala.

Dengan menerapkan hal ini, maka ini sudah sesuai dengan gambaran yang Allah sampaikan dalam surat As Shaff ayat 50-51 : “Sebagian mereka menghadap ke sebagain yang lain, bertanya tentang keadaan mereka di dunia dan apa yang mereka rasakan di sana serta apa yang Allah limpahkan berupa nikmat kepada mereka di surga, dan ini adalah dianatara bentuk kenikmatan yang sempurna. Seorang penghuni surga berkata ”Dulu di dunia aku meiliki teman akrab.”

Kita semua harus bisa menciptakan pernikahan layaknya gambaran penduduk surga yang saling berhadap-hadapan, bercengkrama dan saling bertanya satu sama lainnya dan kedekatan seperti ini hanya bisa dibangun dengan ngobrol. Jika kita ingin dekat sama Allah ya kita ngobrol lewat sholat, dzikir dan doa-doa kita. Me Time sama Allah, berdua saja. Jika ingin dekat dengan pasangan untuk menyikapi setiap perubahan yang ada, harusnya kita benar-benar bisa saling ngobrol dengan pasangan kita. Agar kita bisa menyampaikan setiap kekurangan kita untuk bisa dipahami dan diterima sempurna oleh pasangan kita, sehingga akan ada dukungan untuk bisa terus berubah dari waktu ke waktu.

Ketika sudah saling memahami dan menerima satu sama lain, maka ada hal-hal selanjutnya yang harus diperkuat yakni kedekatan, hubungan dan interkasi kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Sehingga masing-masing personal, entah itu suami atau istri dan nanti hingga anak-anaknya benar-benar bisa berada pada satu titik, yang akan sering dipikirkan hanya satu yaitu Allah, yang paling dianggap penting itu Allah dan kebahagiaannya itu hanya saat mereka ingat dan dekat dengan Allah. Jika sudah pada titik ini, maka tidak ada masalah yang berarti kecuali ketika lupa dan jauh dari Allah.

“Jika boleh saya bahasakan sendiri bahwa menikah itu sejatinya adalah meningkatkan dan melipatgandakan kebaikan, kompak bersama pasangan untuk mewariskan kebaikan itu sampai anak cucu dan keturunannya,” terang ustadz Yosi.  “Saya tutup dengan Surat At Tur ayat 21, Allah berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.”

 

You May Also Like…