Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam– mengingatkan para ayah-bunda. Ketika berumah tangga dan memiliki anak, kadang ayah-bunda memiliki sifat negatif tentang harta. Kata Rasulullah, anak itu mabkhalah wa majbanah, menjadi sebab pelit dan pengecut orang tuanya (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Karena alasan anak, ayah-bunda enggan mengambil risiko dalam perjuangan. Karena demi anak dan masa depannya, ayah-bunda menjadi pelit dan menahan hartanya. Bahkan terhadap bapak dan ibunya, seseorang menjadi pelit dengan alasan kebutuhan keluarga dan anak-anaknya.
Keluarga ideal tercipta ketika suami-istri saling mendukung pasangannya untuk berbakti kepada orang tua. Istri mendukung suami agar memberikan harta kepada orang tuanya, dan suami mendukung istri untuk memberi orang tuanya. Praktik ideal ini tidaklah mengurangi harta, justru memperluas peluang rizki. Karena bakti kepada orang tua dengan harta bagian dari silaturrahim yang merupakan kunci turunnya rizki. Rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam- menyebutkan bahwa silaturrahim menjadi sebab cinta dalam keluarga, bertambahnya harta dan kekayaan (matsraatun), dan panjang umur (mansa-atun) dengan keberkahan dan ketaatan (HR. Ahmad dan Turmudzi).
Seseorang yang pelit kepada orang tua dikarenakan takut istri, atau istri yang enggan memberi orang tuanya karena takut suami, atau menyimpan harta demi anaknya hingga melupakan orang tuanya, perlu belajar kepada tiga orang yang terjebak di dalam goa. Ketiga orang itu tidak berdaya. Hanya kepada Allah -ta`ala- harapan digantungkan. Ketiganya pun berdoa. Mereka bertawassul menggunakan amal shalih andalannya. Satu dari tiga orang itu bertawassul dengan baktinya kepada orang tua. Meskipun anak-anaknya merengek meminta jatah susu, ia tetap mendahulukan orang tuanya sehingga Allah membukakan pintu goa yang tertutup batu besar (HR. Al-Bukhari). Suami-istri pasti membutuhkan pertolongan Allah demi kebaikan diri, keluarga dan masa depan anaknya. Patut disadari, bahwa pertolongan Allah diturunkan kepada anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Bakti kepada orang tua menempati urutan kedua setelah perintah ibadah kepada Allah -ta`ala. Bakti kepada orang tua bagian ajaran tsawabit (permanen) meskipun orang tua berbeda keyakinan dan meskipun keduanya sudah meninggal. Ketika orang tua masih hidup, bakti dilakukan dengan ihsan (berbuat baik) kepadanya dengan ucapan, perbuatan dan harta. Pemberian harta kepada orang tua dianggap sedekah dan tergolong fi sabilillah. Bahkan dikatakan oleh Rasulullah -shallalllahu `alaihi wa sallam- akan mendapatkan dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala silaturrahim. Ketika orang tua sudah meninggal, bakti kepadanya masih melekat yaitu dengan doa, menyambung kekerabatan, serta bersedekah untuknya.
Pemberian harta kepada orang tua merupakan bagian dari bakti kepadanya. Meskipun orang tua berkecukupan, anak tetap perlu memberi sebagai penghargaan dan penghormatan, dan demi mendapat pahala dari Allah dan ridha orang tua. Terkadang orang tua tidak menghargai pemberian anaknya, bahkan merendahkan pemberian itu. Terhadap sikap ini, sepatutnya anak tidak melihat pada sikap orang tua, tetapi ia fokus pada ridha Allah. Hendaknya ia berusaha mengimbangi keburukan sikap orang tua dengan bakti yang baik serta berdoa semoga orang tuanya bertakwa dan tidak menjadi sebab durhaka bagi anaknya.
Bakti kepada orang tua dengan harta tak berhenti setelah wafatnya. Aisyah -radliyallahu `anha- meriwayatkan hadits yang menjelaskan kesinambungan bakti ini. Bahwa seorang sahabat bertanya kepada Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam: “Ibuku meninggal. Sekiranya beliau sempat berbicara tentu akan bersedekah. Bolehkan aku bersedekah atas namanya?” Rasulullah menjawab: “Ya. Bersedekahlah atas namanya” (HR. Al-Bukhari). Sedekah atas nama orang tua yang sudah wafat dibolehkan dan memberi manfaat baginya. Imam Nawawi -rahimahullah- menjelaskan bahwa ijma` ulama menegaskan yang demikian, sebagaimana doa, pelunasan hutang, juga sampai kepada orang yang meninggal. Ibnu Qudamah -rahimahullah- juga menyatakan sampainya pahala sedekah bagi muslim yang sudah wafat.
Sebuah kisah nyata bercerita. Seorang anak bersedekah AC ke sebuah masjid dan diatasnamakan ayahnya. Ayahnya masih hidup. Suatu saat sang ayah menuju masjid itu. Sang ayah disambut oleh imam masjid seraya mengucapkan terima kasih dan mendoakan semoga sedekah AC-nya diterima. Sang ayah bingung karena beliau belum pernah bersedekah AC di masjid itu. Imam masjid menjelaskan bahwa AC disedekahkan dengan atas nama sang ayah oleh anaknya. Saat tiba di rumah, sang ayah bertanya kepada anaknya darimana mendapat uang untuk membeli AC dan mengapa bersedekah atas nama ayah? Si anak menjawab bahwa ia menabung hingga mampu membeli AC. Ia bersedekah atas nama ayahnya karena si anak menyaksikan sang ayah sering bersedekah AC atas nama almarhumah neneknya.
Wallahu a`lam bisshawab
YDSF Peduli