fbpx

Di Level Manakah Anda Bermain?

Written by ydsfpeduli

On November 9, 2021

Anda masih ingat suasana krisis moneter 1997? Harga barang melambung, sejumlah perusahaan besar gulung tikar, dan banyak orang terancam jadi pengangguran. Di saat itulah, Indonesia panen pengusaha dadakan. Orang-orang yang terkena PHK banting stir menjadi pengusaha karena terdesak kebutuhan. Tak ada yang salah dengan pilihan menjadi pengusaha. Hanya saja, mereka cenderung memulai bisnis tanpa rencana yang matang, tanpa tujuan yang jelas selain menjaga stabilitas ekonomi.

Akhirnya, dengan pesangon yang ada, mereka bergegas menciptakan bisnis dengan tujuan segera mendatangkan penghasilan. Yang penting cari untung dulu, rencana dan pengelolahan bisnis bisa menyusul. Bisnis segera meluncur bebas, karena biasanya modal tersedia dari pesangon. Dan setelah beberapa saat, terlihatlah bahwa mereka cenderung gagal mengendalikan biaya operasional. Mereka bahkan tak tahu pasti apakah uang yang mereka peroleh adalah penghasilan yang sesungguhnya.

Seorang mantan karyawan, misalnya, memutuskan untuk mendirikan sebuah warnet di teras rumahnya. Dia hanya berfikir singkat: segera menghasilkan uang. Maka berdirilah warnet dengan desain menarik dan harga sewa bersaing. Tanpa perlu menunggu lama, uang segera megalir ke laci mejanya, sehingga dia yakin bahwa bisnis ini bias diandalkan. Padahal, tanpa sadar, tabungannya kian tergerus oleh biaya listrik, gaji karyawan, dan tentu saja pengadaan perangkat warnet yang tidak murah. Ketika kemudian tabungannya habis, dan penghasilan warnetnya bahkan tak cukup untuk menutupi biaya operasional, semua sudah terlambat.

Ada juga orang yang terlalu jatuh cinta dengan ide atau produk bisnisnya. Mereka berasumsi bahwa datangnya uang itu adalah berkat hasrat berbisnis, kerja keras, dan berpikir positif. Dia sangat yakin bahwa produknya begitu istimewa, sehingga tak ada pesaing. Mereka juga yakin bahwa keuntungannya akan terus meningkat, sementara pengeluaran akan tetap bahkan menurun.

Ketika dugaan mereka salah, uang yang tertanam di bisnis yang “istimewa” tidak bisa dia tarik lagi. Belum lagi jika kita mau kembali membahas gaya hidup orang-orang yang ingin terlihat sukses. Pengusaha yang mengalami bulan madu dengan bisnis barunya ingin segera terbang. Terlalu jelas akibatnya: terlihat kaya dan segera ambruk dalam hitungan waktu tak terduga.

Kini, tibalah kita dalam pertanyaan pamungkas. Di level manakah anda akan bermain? Apakah anda bermain di level para pengusaha dadakan yang bermental miskin? Yang tak punya tujuan lain kecuali menghasilakn uang untuk menyambung hidup? Atau, anda memutuskan untuk bermain di level orang kaya? Yang memiliki rencana jelas, tim yang solid, etos kerja yang baik, dan tata nilai yang kuat? Apakah anda cukup sabar untuk menahan diri dari keinginan terlihat kaya dan terlihat sukses?

Bagaimana dengan riba? Jika uang riba disodorkan kepada anda, di saat anda sangat membutuhkan dana untuk menyelamatkan bisnis, apakah anda akan tetap menerimanya dengan sejuta dalih? Bisakah anda memutuskan untuk tetap bermental kaya, dan tetap bermain di level orang kaya, walau sesedikit apapun uang di saku anda?

Semua pertanyaan itu menyodok eksistensi kita. Semua jawabannya menunjukkan, di mana sebenarnya kita sedang berada. Di kelompok orang miskin, atau orang kaya. Bagaimana akhir kehidupan seseorang ditentukan oleh cara dia bermain hari ini. Jika hari ini dia bermain seperti orang miskin, walaupun berlimpah materi, maka di akhir kehidupannyadia akan tetap miskin. Sebaiknya, orang yang hari ini terlihat biasa-biasa saja, jika dia terus bermain seperti orang kaya, dia akan berakhir seperti orang kaya. It’s a matter of how you play.       

Besar kecilnya pendapatan seseorang di dalam hidup dan bisnisnya juga ditentukan oleh bagaimana dia bermain. Coba anda pastikan karakter tiga pengusaha yang saya sebutkan di atas bersikap. Mantan karyawan dengan warnetnya, pengusaha yang begitu cinta dengan produknya, dan orang gagal mengendalikan gaya hidupnya. Sikap ketiganya berasal dari mentalitas orang miskin: takut kehilangan harta, terlalu yakin bahwa dia pasti berhasil, dan ingin terlihat kaya. Karena itu, di akhir hidupnya pun, dia akan menjalani kehidupan yang serba kekurangan. 

Lantas, apakah anda bertanya, mengapa manusia di muka bumi ini bisa berbeda-beda kualitas hidupnya? Padahal, kita hidup di bumi yang sama, menghirup udara yang sama. Apakah ada peran Tuhan di sana? Apakah Tuhan hanya menciptakan orang-orang tertentu untuk menjadi kaya sedangkan orang yang lain diciptakan untuk menjadi miskin?

Ternyata, Tuhan memberikan rezeki kepada manusia sesuai tingkat bagaimana mereka bermain. Ada, 4 tingkatan rezeki yang bias diperoleh manusia. Setiap level rezeki ini memiliki kualifikasi yang berbeda dari segi jumlah maupun siapa saja yang berhak mendapatkannya. Coba kita lihat, rezeki level mana yang menjadi hak kita.

YDSF Peduli

You May Also Like…

Hubungi Kami
Ada yang Bisa Dibantu?