fbpx

Kaidah Shopping

Written by ydsfpeduli

On November 9, 2021

Meskipun tak pernah belajar bahasa asing, masyarakat auto melek dengan istilah-istilah asing ini: sale, big sale, cash back, buy 2 get 1 free, black Friday, dan sebagainya. Apalagi bahasa sendiri, seperti harbolnas, banting harga, beli rumah dapat istri dan beli apartemen dapat suami. Istilah-istilah dalam iklan ini menggoda selera belanja. Iklan memberi manfaat sekaligus jebakan. Konsumen memperoleh informasi barang, jasa, harga, diskon, dan kebutuhannya dari iklan. Iklan juga melahirkan shopaholic  (gila belanja), manipulasi kebutuhan, gaya hidup menyimpang, persaingan sosial, pola hidup konsumtif, sikap boros dan tabdzir (mubadzir). Iklan tidak sekadar menjual produk, melainkan juga menjual nilai, perasaan dan gaya hidup. 

Islam tidak melarang belanja. Al-Qur`an dan Sunnah mendorong muslim memenuhi kebutuhannya, diantaranya dengan membelanjakan sebagian hartanya. Diperkenankan bagi muslim memiliki rumah yang baik (thayyibat al-maskan), pakaian yang baik (thayyibat al-malbas), kendaraan yang nyaman (thayyibat al markab). Boleh bagi muslim menikmati makanan dan minuman yang baik (thayyibat al-ma`kal wa al-masyrab) serta permainan yang baik (thayyibat al-lahwi). Tetapi, masalah belanja dan memanfaatkan fasilitas harta dunia tidak semata persoalan material, bukan hanya masalah menikmati, tetapi mengandung mas`uliyah (tanggung jawab) (HR. Turmudzi).

Pertanggungjawaban menghendaki persiapan untuk menghadapinya. Belanja akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Keluarga mesti menyiapkan diri agar lulus dalam pertanggungjawaban dan audit Rabbani itu. Kesuksesan dalam pertanggungjawabkan ditentukan oleh ketaatan dan komitmen kepada nilai-nilai dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Beberapa nilai yang telah disinggung sebelumnya (Edisi Maret 2021) menghendaki implementasi pada belanja harta keluarga. Nilai iman yang memastikan harta milik Allah menghendaki agar keluarga muslim mentaati aturan Sang Pemilik Sejati (Allah) dalam membelanjakan harta. Belanja bukan karena nafsu, melainkan karena wahyu. 

Nilai akhlak juga menjadi bingkai belanja. Akhlak tidak terbatas dalam interaksi sosial. Akhlak merupakan ajaran inti Islam yang mewujud dalam semua aspek kehidupan, termasuk belanja dan kegiatan ekonomi lainnya, yaitu konsumsi, donasi, investasi, tabungan, pertukaran, dan kepemilikan. Amanah, jujur, qana`ah, sabar, dan syukur merupakan akhlak-akhlak utama dalam membelanjakan harta. Belanja muslim juga terikat oleh nilai halalan-tahyyiban. Nilai ini menghendaki penggunaan akad atau cara yang syar`i dalam belanja dan komitmen pada komoditas atau jasa yang halal dan baik. Muslim perlu berhati-hati dalam belanja, tidak menggunakan fasilitas ribawi untuk memenuhi kebutuhan. Allah -ta`ala- mengingatkan bahwa riba membuat pelakunya rapuh dan sempoyongan seperti kesurupan setan (Al-Baqarah: 275), menghilangkan harta dan barakah (QS. Al Baqarah: 276), menjadi sebab diperangi oleh Allah dan RasulNya (Al-Baqarah: 279), mendapat dosa (Al-Baqarah: 278), serta kekal di neraka bila tidak bertaubat (Al-Baqarah: 275).

Nilai prioritas dan proporsional dalam belanja menghendaki tidak semua kebutuhan harus dipenuhi, apalagi keinginan. Tidak semua yang dibutuhkan harus dibeli, apalagi bila memiliki anggaran terbatas. Skala prioritas menjadi nilai penting dalam belanja agar muslim tidak terjebak pada praktik israf dan tabdzir (boros dan berlebihan). Tidak semua pendapatan dibelanjakan untuk keperluan konsumsi. Pendapat terikat dengan aturan alokasi islami. Ajaran Al-Qur`an dan Sunnah menghendaki bahwa pendapatan mesti dialokasikan secara proporsional untuk keperluan konsumsi, donasi (wajib dan sunnah), investasi, dan tabungan. 

Wallahu a`lam bisshawab 

YDSF Peduli

You May Also Like…

Hubungi Kami
Ada yang Bisa Dibantu?