“Ba’da sholat subuh berjamaah di Masjid, Bapak pergi mengamen ke pasar Landungsari. Hingga jam 11 siang, Bapak pulang karena harus berjamaah sholat dhuhur. Soalnya Bapak juga bertugas sebagai Muadzin di Masjid Al-Ikhlas Joyosuko sini.”
Begitulah kalimat yang terucap dari Mukhlisah, istri dari Sipon yang hingga saat ini masih berjuang bersama dengan setiap keterbatasan kondisi mereka yang memang Allah takdirkan menjadi tunanetra.
Sipon dan Mukhlisah merupakan pasutri disabilitas yang tinggal di daerah Merjosari, tepatnya di Jalan Joyosuko No. 23A RT 001 RW 012, Kota Malang. Dalam kesehariannya, Sipon bekerja sebagai pengamen jalanan dan istri mengurus putri semata wayangnya di rumah. Dulunya, Sipon bekerja sebagai tukang pijat di salah satu panti pijat tunanetra. Tapi sejak 2010 ia berhenti karena hampir tidak memiliki penghasilan karena tempat kerjanya yang sepi pelanggan. Hingga akhirnya Sipon memutuskan untuk jadi pengamen demi memenuhi kebutuhan makan keluarganya sehari-hari.
Mukhlisah sempat mengungkapkan bahwa sebenarnya sejak lahir ia memiliki penglihatan yang normal, namun Allah takdirkan dengan hilangnya indra penglihatannya ketika ia berusia 2 tahun. “Saat itu saya kena cacar air, demam tinggi dan mata saya sering saya kucek karena keluar air terus , lalu tiba-tiba cahaya yang saya lihat mulai meredup,” jelasnya. Karena tidak ada biaya untuk operasi, maka kedua matanya pun tak mampu diselamatkan.
Penghasilan dari mengamen pun tak menentu. Kadang dapat 100 ribu kadang juga cuma dapat 20 ribu sehari. Tak jarang dengan kondisinya yang seperti ini, ia harus mengalah karena dipandang seperti pengemis. “Yang penting saya tidak meminta-minta, tetap berusaha dan yakin kalau Allah itu selalu membantu kita Mas,” ujar Sipon. “Sebenarnya saya pengen kerja yang lain, tapi tidak ada pilihan, anak istri harus tetap makan,” imbuhnya.
Sipon dan istrinya tinggal di rumah kontrakan seadanya. Bangunan sempit, beratap seng tanpa plafon, dan berlantai semen. Ketika hujan, atapnya banyak yang bocor. Meskipun begitu pasangan ini tetap bersyukur. “Karena Malang sering hujan, jadi kami pasang terpal karna plafonnya ndak ada, Alhamdulillah masih punya tempat berteduh,” ujar Mukhlisah.
Selain mengamen, ternyata Sipon juga selalu menyempatkan diri untuk ke masjid di dekat tempat tinggalnya dan menjadi muadzin di kala waktu shalat tiba. Lantunan suaranya yang merdu, menyapa setiap hamba yang hatinya penuh keimanan untuk segera hadir, menegakkan shaf dan shalat berjamaah. “Ini termasuk cara saya bersyukur karena Allah telah menganugerahkan kepada saya suara yang merdu. Saya gunakan untuk berjuang di jalan Allah dengan menjadi muadzin, semoga saja Allah ridha,” ungkapnya.
Pada Ramadhan tahun ini, Sipon dan keluarga berkesempatan mendapatkan kejutan dari YDSF Malang melalui program Berkahget. Ketiganya diajak oleh tim YDSF Malang berbelanja sepuasnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta perlengkapan untuk persiapan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Raut penuh bahagia tampak jelas ketika mereka menjejakkan kaki di salah satu Mall di Kota Malang. “Ini tempatnya bersih sekali ya,” ujar Sipon yang ternyata mampu mengetahui kondisi lantai yang bersih dari setiap jengkal langkah kakinya. “Seumur hidup baru kali ini saya masuk yang namanya Mall, karena dari dulu cuma mendengar namanya saja,” tukasnya.
Meskipun keterbatasan fisik mereka alami, tapi semangat untuk hidup yang lebih baik terpancar dari pasangan ini. Motivasi terbesar mereka adalah memberikan pendidikan yang layak untuk Syifa, anak gadis semata wayangnya. “Jangan menyerah dan putus asa. Tetaplah berusaha dan yakin bahwa Allah akan selalu menolong hambaNya. Bukankah Allah tidak akan mengubah nasib kaum, sebelum mereka berusaha mengubah nasib mereka sendiri,” tuturnya berpesan.(syf)
YDSF Peduli