Perjuangan setiap orang untuk menggapai maqam yang terpuji pasti berujung pada hawa nafsunya. Maka barangsiapa yang berhasil menundukkan hawa nafsunya, ia akan berbahagia memperoleh kemenangan.
Dan sebaiknya, barangsiapa yang dikalahkan oleh nafsunya, niscaya ia menderita kerugian dan celaka. Hal ini Allah telah tetapkan: “Maka barangsiapa yang durhaka, sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Adapun orang yang takut akan kebesaran Rabnya dan menahan dirinya dari gejolak nafsunya, sesungguhnya Surgalah tempat tinggalnya…” (QS,An-Nazi’at 37-41)
Sudah menjadi pemahaman kita bahwa setiap manusia punya hawa nafsu. Memang hawa nafsu itu selalu mengajak kepada kejahatan dan kezaliman serta menyeru kita untuk mementingkan hidup dunia. Akan tetapi kita tidak diminta untuk membunuh atau menghilangkannya. Kita hanya diminta untuk mengendalikannya dan Allah senantiasa menyeru hamba-Nya menuju ketakwaan kepada-Nya. Nah sementara itu hati ada diantara dua seruan tersebut, terkadang condong ke kiri, terkadang miring ke kanan. Inilah ajang tempat ujian dan fitnah.
Nafsu Muthmainnah
Apa nafsu muthmainnah itu? Sahabat Ibnu Abbas ra bertutur: “Muthmainnah yaitu mushaddiqah, artinya membenarkan yang hak”.
Imam Qatadah berkata: Nafsu Muthmainnah itu adalah nafsu seorang Mukmin yang selalu merasa tentram dengan apa yang telah Allah janjikan. Juga merasa tenang ketika menyimak dan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, berita tentang diri-Nya dan Rasul-Nya saw. Kemudian ia tentram mengingat berita tentang kejadian-kejadian setelah kematian, alam barzah dan peristiwa-peristiwa pada hari kiamat, sehingga seakan-akan menyaksikan peristiwa tersebut dengan mata kepalanya sendiri. Dia juga merasa tenang atas takdir Allah Azza wa Jalla, apapun bentuknya. Dia menyambutnya dengan penuh kepasrahan dan tawakkal, tidak benci dan geram , tidak berkeluh kesah, sempit dada , bimbang iman serta tidak putus asa terhadap kejadian masa lalu. Dia tidak terlalu bangga terhadap apa-apa yang ada di hadapannya karena dia faham betul bahwa mushibah itu sudah ditakdirkan sebelum datang menimpanya bahkan sebelum ia diciptakan seperti Allah telah firmankan: ” Tak satupun musibah yang terjadi melainkan dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah beri dia hidayah”. (QS. At-Taghabun 11)
Nafsu ini penuh dengan keikhlasan dalam setiap amalannya. Jika ia memberi kepada saudaranya karena Allah dan kalau ia tidak memberipun karena Allah. Senang karena Allah, marahpun karena Allah. Nafsu ini juga selalu terhindar dari keragu-raguan menuju keyakinan. Sehingga ia tidak mendahulukan kemauan atau nafsunya, juga tidak taqlid dalam melakukan perintah Allah. Maka ia semakin menaiki tangga ketinggian dan kemuliaan sebagai hamba-Nya. Menjauhi kebodohan menuju ilmu, menjauhi kelalaian menuju dzikrullah, menjauhi riya’ menuju ikhlas, menjauhi dusta menuju kejujuran, menjauhi ujub dan bangga menuju rendah hati, menjauhi keangkuhan menuju tawadhu’. Ketika itulah hawa nafsu menjadi muthmainnah, tenang dan damai. Pokok pangkal segalanya tersebut adalah sadar dan waspada, yang melenyapkan kantuk dan kelalaian dari hatinya, dan menyinari taman mahligai syurga untuknya
” Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridha lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam hamba-hamba-Ku dan masuklah ke Surga-Ku”. (QS. Al-Fajr 27- 30)